Bagi sebagian orang sejak beberapa
abad terakhir ini paham sekularisme dan gerakan sekularisasi dianggap sebagai penyebab
dari kemajuan sains dan teknologi di dunia Barat (Eropa dan Amerika). Asumsi
ini memang ada benarnya, mengingat hubungan yang tidak harmonis selama
berabad-abad antara dogmatisme Gereja dan rasionalisme para saintis di Eropa.
Seiring berjalannya waktu ketegangan dan konflik antara keduanya semakin
sengit, sehingga tidak jarang satu pihak berusaha menjatuhkan dan bahkan
menindas yang lain. Hal ini bisa kita lihat adanya praktek-praktek seperti
ex-komunikasi, kondemnasi, persekusi, immurasi, inkuisisi, dan eksekusi. Tidak sedikit
para saintis yang dikucilkan, dikutuk, duburu, dikurung, diinterogasi, dan
dijatuhi hukuman mati. Perlakuan buruk yang dialami Giordino Bruno, Galileo
Galilei, dan Baruch Spinoza –untuk menyebut beberapa contoh saja– merupakan ‘lembaran
hitam’ dalam sejarah sains di Barat.
Yang keliru dalam hal ini adalah
ketika asumsi di atas diterima dan digeneralisir secara mentah-mentah,
dijadikan cermin dan dipakai untuk membaca sejarah perkembangan, kemajuan dan
kemunduran peradaban Islam; seolah-olah kasus yang sama juga terjadi di dunia
Islam, seolah-olah sains juga mengalami nasib yang sama malangnya dalam sejarah
keilmuan Islam. Lebih keliru lagi ketika asumsi tersebut di konversi menjadi
tesis, lalu digunakan sebagai landasan prediksi dan strategi membangun kembali
pemikiran dan peradaban Islam kini; bahwa kemunduran sains di dunia Islam
disebabkan oleh orthotodksi, bahwa kebangkitan dan kemajuan sains di dunia
Islam hanya dapat terwujud jika kaum Muslim mau mengikuti dan meniru
bangsa-bangsa Barat; yakni dengan menganut sekularisme dan mempraktekkan
sekularisasi.
Awal
kemajuan dan perkembangan sains di dunia Islam tidak dipisahkan dari sejarah
ekspansi Islam itu sendiri. Dalam tempo 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad
saw (632 Masehi), umat Islam telah berhasil menaklukkan seluruh jazirah Arabia
dari selatan hingga utara. Pelebaran sayap dakwah Islam ini tentu bukan tanpa
konsekuensi. Seiring dengan terjadinya konversi massal dari agama asal atau
kepercayaan lokal ke dalam Islam, terjadi pula penyerapan terhadap tradisi
budaya peradaban setempat. Proses interaksi yang terjadi secara alami ini
adalah cikal bakal “Islamisasi”, dimana unsur-unsur dan nilai-nilai masyarakat
lokal ditampung, ditampih dan disaring terlebih dahulu sebelum kemudian
diserap. Hal yang positif dan sejalan dengan Islam dipertahankan, dilestarikan,
dan dikembangkan, sementara yang tidak sesuai dengan kerangka dasar ajaran Islam
ditolak dan dibuang.
Faktor-faktor
yang telah memungkinkan dan mendorong kemajuan sains di dunia Islam pada saat
itu antara lain sebagai berikut.
1.
Kemurnian
dan keteguhan dalam mengimani, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam. Keimanan yang teguh, pemahaman yang memadai, dan kesungguhan dalam
mempraktikan ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah itu telah
berhasil melahirkan individu-individu ‘siap tempur’ yang unggul secara mental
maupun moralnya, dan pada gilirannya membentuk masyarakat madani yang Islami. Terbukti
dalam rentang waktu yang cukup singkat, mereka berjaya membangun sebuah
peradaban yang gemilang.
2.
Adanya
motivasi agama. Sebagaimana
kita ketahui, kitab suci Al-Qur’an banyak berisi anjuran untuk menuntut ilmu,
perintah agar kita membaca (iqra’), melakukan observasi (a-fala yarawna),
eksplorasi (a-fala yanzuruna) dan ekpedisi (suri fi l-ardi), melakukan ‘inference
to the best explanation’[2]
serta berfikir ilmiah rasional (li-qawmin ya’qilun, yatafakarun). Pendek kata,
pesan-pesan senada yang intinya mengecam sikap dogmatis atau ‘asal terima’. Begitu
gencaranya ayat-ayat ini didengungkan, sehingga belajar atau mencari ilmu
pengetahuan diyakini sebagai kewajiban (faridah) atas setiap individu Muslim,
dengan implikasi berdosalah mereka yang tidak melakukannya. Pada tataran
praktis doktrin ini membawa dampak yang sangat positif. Ia mendorong dan
mempercepat terciptanya masyarakat ilmu (knowledge society) dan budaya ilmu
(knowledge culture)-dua perkara penting yang bertanggung-jawab melahirkan
peradaban Islam. Perlu diingat bahwa dalam Islam pentingnya ilmu dan perhatian yang
serius dalam pencarian berbagai cabang ilmu adalah dalam rangka usaha meraih
kebahagiaan sejati (dunia dan akhirat), dan bukan sekedar memenuhi kebutuhan
sosial ekonomi saja.
3.
Faktor
sosial politik. Tumbuh dan
berkembangnya budaya ilmu dan tradisi ilmiah pada masa itu dimungkinkan antara
lain oleh kondisi masyarakat Islam yang, meskipun terdiri dari bermacam-macam
etnis (Arab, Parsi, Koptik, Berber, Turki, dan lain), dengan latarbelakang
bahasa dan budaya masing-masing, namun berhasil diikat oleh tali akidah Islam. Dengan
demikian terwujudlah stabilitas, keamanan dan persatuan. Para pencari ilmu
maupun cendikiawan dengan leluasa dan aman bepergian dan merantau ke
pusat-pusat pendidikan dan keilmuan.
4.
Dukungan
dan perlindungan politis dari penguasa saat itu. Hal ini cukup menentukan mengingat implikasi finansial serta
sosialnya. Itulah sebabnya para saintis seperti Ibnu Sina, Ibnu Tufayl,
Nasiruddin at-Tusi dan lain-lain berpindah dari suatu tempat ke tempat,
mengikuti patron-nya.
Secara umum, faktor-faktor yang
dikatan menjadi penyebab kemunduran dan kematian sains di dunia Islam dapt
dikelompokkan menjadi dua, internal dan eksternal, yang masing-masing harus
diteliti lagi sehingga dapat dibedakan mana yang faktual dan mana yang mitikal,
mana yang berbasis data dan mana yang Cuma berdasarkan spekulasi belaka.
1.
Profesor
Sabra. Aktivitas saintifik mengalami
reduksi karena lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis. Sains menyempit
wilayah dan perannya menjadi sekedar pelayan agama (handmaiden of religion).
2.
David
C. Lindberg. (1) opisisi
kamu konservatif[3],
(2) krisis ekonomi dan politik, serta (3) keterasingan dan keterpinggiran
sebagai tiga faktor utama yang bertanggung jawab atas kemunduran sains di dunia
Islam.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kemajuan atau kemunduran sains dipengaruhi oleh dan
tergantung pada banyak faktor internal maupun eksternal. Sebagai aktivitas nyata,
‘scientific enterprise’ mencerminkan nilai-nilai (epistemologi etc) yang dianut
dan diamalkan oleh para pelakunya. Kaum Muslim dapat meraih kembali kejayaannya
jika mereka mau belajar dari sejarah agar tidak terjatuh ke jurang kegelapan
berkali-kali.
[1] Sebuah
rangkuman dari tulisan Dr. Syamsuddin Arief yang berjudul Sains Di Dunia
Islam : Fakta Historis-Sosiologis dalam buku Islamic Science : Paradigma,
Fakta, dan Agenda, Insist tahun 2016.
[2] dalam istilah
filsafat sains kontemporer
[3] Jika para
saintis dan filosof dahulu itu dikecam dan dikucilkan, hal itu disebabkan oleh
sikap dan perilaku mereka sendiri. Pada puncak kemajuan dan kemakmurannya,
banyak sekali diantara mereka yang secara diam-diam telah murtad dan kufur
terhadap ajaran Islam. Trend yang berlaku saat itu adalah free-thinking alias
liberasme. Anda bukan intelektual jika tidak ekstrentik, liberal dan sekular.
Komentar
Posting Komentar